Ayah, hari ini datang kembali
Di mana Gema takbir menggema, langit berpendar cahaya.
Namun, di sudut hati ini, sunyi merangkul jiwa.
Tujuh belas tahun usia kala itu, hadiah pahit ku terima,
Kehilanganmu, Ayah, di hari yang penuh pesona.
Orang-orang berkumpul, bahagia menyambut hari,
Namun, engkau menjauh, meninggalkan luka abadi.
Tak ada lagi genggaman tanganmu,
Tak terdengar lagi suara beratmu yang berkata, "Cu, ini uang lebaran buat ucu, cu maafkan bapak ya, cantiknya anak bapak."
Hanya sunyi yang menemani, doa yang kupanjatkan lirih,
Di antara gema takbir, yang terasa begitu perih.
Ayah, engkau pergi di saat aku mencari jati diri,
Di usia muda, kematianmu mengusik mimpi.
Dulu, air mata mengalir, ratap pilu tak terperi,
Kini, rasa sakit itu, tumpul tak bertepi.
Bukan sembuh, Ayah, tapi luka yang terlanjur dalam,
Mengukir kenangan, di setiap langkah kehidupan.
Meski engkau tak di sini, terima kasih ku ucapkan,
Atas pelukan hangat, nasihat bijak, dan tawa kebahagiaan.
Atas perjuanganmu, Ayah, demi keluarga tercinta,
Atas cinta yang kau beri, tanpa pernah meminta.
Ayah, aku akan terus melangkah, tegar dan berani,
Membawa semua ajaranmu, sebagai bekal diri.
Semoga engkau tenang, di sisi-Nya yang abadi,
Melihat putrimu tumbuh, meski tanpamu di sini.
Tags:
Puisi